A.
Sejarah berdirinya Kerajaan Kalingga (Kerajaan Holing)
Pada masa
pemerintahan Prabu Wasumurti, Kerajaan Keling menjalin hubungan diplomatik
dengan Kerajaan Kalingga di India. Hubungan tersebut semakin dekat, ketika
Putra Mahkota Kalingga yang bernama Santanu di nikahkan dengan putri sang
prabhu bernama Dewi Wasundari alias Dewi Bhadrawati. Setelah pernikahan mereka
selesai, Prabu Wasumurti memberikan anugerah berupa sebagian wilayah kerajaan
Keling kepada Santanu. Untuk menandai adanya hubungan kekerabatan antara Keling
dan Kalingga, maka wilayah tersebut dinamakan Kerajaan Kalingga sedangkan Ibukotanya
disebut Keling.
Santanu kemudian dilantik
menjadi raja Kalingga yang pertama di
Jawa pada tahun 632 M. Kerjaan Kalingga biasa juga disebut dengan kerajaan Ho-Ling.
B.
Raja-Raja Kerajaan Kalingga
1. Santanu (632-648)
Bergelar Prabhu
Kirathasingha. Beliau pernah mengirimkan duta besarnya ke Cina, pada tahun 632
M dan 640 M. Menurut catatan I-Tshing, diketahui bahwa pada tahun 644 M, datang
seorang pendeta buddha dari cina bernama Hwi-Ning. Ia menetap di Kalingga
selama 3 tahun. Kemudian, Hwi-Ning menerjemahkan salah satu kitab suci agama
Budha Hinayana yang berbahasa Sanksekerta ke dalam bahasa Cina. Dalam usahanya
tersebut Hwi-Ning dibantu oleh seorang pendeta kerajaan Kalingga yang bernama
Janabadra.
2. Selendra (648-674)
Bergelar Prabhu
Kartikeyasingha sang mokteng Mahamerwacala. Beliau telah dua kali mengirimkan
duta besarnya ke Cina, pertama pada tahun 648 M, dan kedua pada tahun 666 M.
Diketahui, Beliau wafat di Gunung Mahameru. Dari pernikahan Prabu
Kartikeyasingha dengan Dewi Sima, dikaruniai satu Putri dan satu Putra. yaitu :
a. Dewi Parwati,
diperisteri oleh raja Mandiminyak dari Galuh,
b. Radiyah Narayana,
menjadi menantu raja Jayasinghanegara dari Keling.
3. Maharani Sima
(674-695)
Bergelar Sri Maharani
Mahisa Suramardini Satyaputikeswara. Beliau adalah Raja yang terkenal dari
kerajaan Kalingga. Pada masa pemerintahannya, Hukum dan Keadilan diterapkan
secara disiplin. Hal tersebut berlaku bagi seluruh warga negara Kalingga yang
melanggar aturan akan diberikan sanksi tegas. Suatu saat seorang saudagar Arab
berkeinginan untuk membuktikan ketaatan rakyat Kalingga terhadap hukum yang
diterapkan. Ia meletakkan pundi-pundi uang di jalanan pusat kota. Ternyata tak
ada seorangpun yang berani menyentuh atau pun mengambilnya. Hingga suatu hari
secara tidak sengaja kaki Putra Mahkota menyentuh pundi-pundi itu. Maka Ratu
Sima memerintahkan agar anaknya di potong kakinya sebagai hukuman. Karena
hukuman itu dirasa terlalu berat, para penasehat Ratu memohon agar hukuman
diperingan, namun Ratu tetap teguh dengan pendiriannya. Setelah didesak, Ratu
Sima memutuskan untuk meringankan hukumannya. Kaki putra mahkota tidak jadi
dipotong tetapi hanya jari-jari kakinya saja.
Setelah Ratu Sima
wafat pada tahun 695 M, kerajaan Kalingga dibagi menjadi dua wilayah kerajaan,
untuk Dewi Parwati di sebelah utara, dan untuk Radiyah Narayana di sebelah
selatan. Sang Mandiminyak, suami Dewi Parwati, tidak menggantikan di situ,
karena ia menjadi raja di kerajaan Galuh.
Kerajaan
Kalingga Utara
4. Dewi Parwati
(695-717)
Dari pernikahan
Prabhu Mandiminyak dengan Dewi Parwati dikaruniai seorang Putri, bernama Dewi
Sannaha. Kemudian Dewi Sannaha naik tahta menggantikan ibundanya.
5. Dewi Sannaha
(717-732)
Sannaha menikah
dengan raja ketiga dari Kerajaan Galuh, yaitu Bratasenawa. Mereka berdua
memiliki Putra yang bernama Sanjaya yang kelak menjadi raja Kerajaan Sunda dan
Kerajaan Galuh (723-732 M).
Kerajaan
Kalingga Selatan
4. Narayana (695-732)
Setelah Prabhu
Narayana wafat, Beliau digantikan oleh puteranya yaitu Sang Prabhu Dewa Singha.
5. Dewa Singha
Pada waktu itu Sang
Prabhu Dewa Singha memerintah wilayah selatan yang tunduk di bawah kekuasaan
Sanjaya.
C.
Kehidupan Politik, Ekonomi, Agama dan Sosial Budaya
1. Kehidupan Politik
Kerajaan Kalingga
Kehidupan Politik
Pada abad 7 Masehi Kerajaan Kalingga pernah dipimpin seorang ratu bernama Sima.
Ratu Sima menjalankan pemerintahan dengan tegas, keras, adil, dan bijaksana.
Dia melarang rakyatnya untuk menyentuh dan mengambil barang bukan milik mereka
yang tercecer di jalan. Bagi siapa pun yang melanggar akan memperoleh hukuman
berat. Hukum di Kalingga dapat ditegakkan dengan baik. Rakyat taat pada
peraturan yang dibuat ratu mereka. Oleh sebab itu, ketertiban dan ketentraman
di Kalingga berjalan baik. Menurut naskah Carita Parahyangan, Ratu Sima
mempunyai cucu bernama Sahana yang menikah dengan Raja Brantasenawa dari
Kerajaan Galuh. Sahana mempunyai anak bernama Sanjaya yang kelak menjadi
Dinasti Sanjaya. Sepeninggalan Ratu Sima, Kerajaan Kalingga ditaklukan oleh
Kerajaan Sriwijaya.
2. Kehidupan Ekonomi
Kerajaan Kalingga
Kerajaan Kalingga
mengembangkan perekonomian perdagangan dan pertanian. Letaknya yang dekat
dengan pesisir utara Jawa Tengah menyebabkan Kalingga gampang diakses oleh para
pedagang dari luar negeri. Kalingga adalah daerah penghasil kulit penyu, emas,
perak, cula badak, dan gading sebagai barang dagangan. Sementara wilayah
pedalaman yang subur, dimanfaatkan penduduk untuk mengembangkan pertanian.
Hasil-hasil pertanian yang diperdagangkan antara lain beras dan minuman.
Penduduk Kalingga dikenal pandai membuat minuman berasal dari bunga kelapa dan
bunga aren. Minuman tesebut mempunyai rasa manis dan bisa memabukkan. Dari
hasil perdagangan dan pertanian itu, penduduk Kalingga hidup makmur.
3. Kehidupan Agama
Kerajaan Kalingga
Kerajaan Kalingga
adalah pusat agama Buddha di Jawa. Agama Buddha yang berkembang di Kalingga
adalah ajaran Buddha Hinayana. Pada tahun 664 seseorang pendeta Buddha dari
Cina bernama Hwi-ning berkunjung ke Kalingga. Dia datang untuk menerjemahkan
sebuah naskah terkenal agama Buddha Hinayana dari bahasa Sanskerta dalam bahasa
Cina. Usaha Hwing-ning ditolong oleh seorang pendeta Buddha dari Jawa bernama
Jnanabadra.
4. Kehidupan Sosial
Budaya Kerajaan Kalingga
Penduduk Kalingga
hidup dengan teratur. Ketertiban dan ketentraman sosial di Kalingga dapat
berjalan dengan baik berkat kepemimpinan Ratu Sima yang tegas dan bijaksana
dalam menjalankan hukum dan pemerintahan. Dalam menegakkan hukum Ratu Sima
tidak membedakan antara rakyat dengan anggota kerabatnya sendiri. Berita
mengenai ketegasan hukum Ratu Sima pernah didengar oleh Raja Ta-Shih. Ta-Shih
adalah sebutan Cina untuk kaum muslim Arab dan Persia. Raja Ta-Shih lalu
menguji kebenaran khabar tersebut. Dia memerintahkan anak buahnya untuk
meletakkan satu kantong emas di jalan wilayah Kerajaan Ratu Sima. Selama tiga
tahun kantong itu dibiarkan tergeletak di jalan dan tidak seorang pun berani
menyentuh. Setiap orang melewati kantong emas itu berusaha menyingkir. Pada
suatu hari putra mahkota tidak sengaja menginjak kantong itu sehingga isinya
berhamburan. Kejadiaan ini membuat Ratu Sima marah dan memerintahkan hukuman
mati untuk putra mahkota. Akan tetapi, para menteri berusaha memohon
pengampunan untuk putra mahkota. Ratu Sima menanggapi permohonan itu dengan
memerintahkan agar jari kaki putra mahkota yang menyentuh kantong emas
dipotong. Peristiwa ini adalah bukti ketegasan Ratu Sima dalam menegakkan
hukum.
D.
Peninggalan Kerajaan Kalingga
1. Prasasti
a. Prasasti Tukmas
Prasasti Tukmas
ditemukan di ditemukan di lereng barat Gunung Merapi, tepatnya di Dusun Dakawu,
Desa Lebak, Kecamatan Grabag, Magelang di Jawa Tengah. Prasasti bertuliskan
huruf Pallawa yang berbahasa Sanskerta. Prasasti menyebutkan tentang mata air
yang bersih dan jernih. Sungai yang mengalir dari sumber air tersebut disamakan
dengan Sungai Gangga di India. Pada prasasti itu ada gambar-gambar seperti
trisula, kendi, kapak, kelasangka, cakra dan bunga teratai yang merupakan
lambang keeratan hubungan manusia dengan dewa-dewa Hindu.
b. Prasasti Sojomerto
Prasasti Sojomerto
ditemukan di Desa Sojomerto, Kecamatan Reban, Kabupaten Batang, Jawa Tengah.
Prasasti ini beraksara Kawi dan berbahasa Melayu Kuno dan berasal dari sekitar
abad ke-7 masehi. Prasasti ini bersifat keagamaan Siwais. Isi prasasti memuat
keluarga dari tokoh utamanya, Dapunta Selendra, yaitu ayahnya bernama Santanu,
ibunya bernama Bhadrawati, sedangkan istrinya bernama Sampula. Prof. Drs.
Boechari berpendapat bahwa tokoh yang bernama Dapunta Selendra adalah
cikal-bakal raja-raja keturunan Wangsa Sailendra yang berkuasa di Kerajaan
Mataram Hindu. Kedua temuan prasasti ini menunjukkan bahwa kawasan pantai utara
Jawa Tengah dahulu berkembang kerajaan yang bercorak Hindu Siwais. Catatan ini
menunjukkan kemungkinan adanya hubungan dengan Wangsa Sailendra atau kerajaan
Medang yang berkembang kemudian di Jawa Tengah Selatan.
2. Candi dan situs
bersejarah
a. Candi Angin Candi
Angin ditemukan di Desa Tempur, Kecamatan Keling, Kabupaten Jepara, Jawa
Tengah.
b. Candi Bubrah Candi
Bubrah ditemukan di Desa Tempur, Kecamatan Keling, Kabupaten Jepara, Jawa
Tengah.
c. Situs Puncak Sanga
Likur Gunung Muria. Di Puncak Rahtawu (Gunung Muria) dekat dengan Kecamatan
Keling di sana terdapat empat arca batu, yaitu arca Batara Guru, Narada, Togog,
dan Wisnu. Sampai sekarang belum ada yang bisa memastikan bagaimana mengangkut
arca tersebut ke puncak itu mengingat medan yang begitu berat. Pada tahun 1990,
di seputar puncak tersebut, Prof Gunadi dan empat orang tenaga stafnya dari
Balai Arkeologi Nasional Yogyakarta (kini Balai Arkeologi Yogyakarta) menemukan
Prasasti Rahtawun. Selain empat arca, di kawasan itu ada pula enam tempat
pemujaan yang letaknya tersebar dari arah bawah hingga menjelang puncak.
Masing-masing diberi nama (pewayangan) Bambang Sakri, Abiyoso, Jonggring
Saloko, Sekutrem, Pandu Dewonoto, dan Kamunoyoso.
No comments:
Post a Comment