A.
Sejarah Kerajaan Kediri
Kerajaan Kediri merupakan kelanjutan
dari Kerajaan Wangsa Isyana (Kerajaan Medang Kamulan). Kerajaan Kediri atau
Kerajaan Panjalu, adalah sebuah kerajaan yang bercorak Hindu terdapat di Jawa
Timur antara tahun 1042-1222. Kerajaan ini berpusat di kota Daha, yang terletak
di sekitar Kota Kediri sekarang. Sesungguhnya kota Daha sudah ada sebelum
Kerajaan Kediri berdiri. Daha merupakan singkatan dari Dahanapura, yang berarti
kota api. Nama ini terdapat dalam prasasti Pamwatan yang dikeluarkan Airlangga
tahun 1042.
Baca
Juga : Kerajaan Kalingga (Kerajaan Holing)
Hal ini sesuai dengan berita dalam Serat
Calon Arang bahwa, saat akhir pemerintahan Airlangga, pusat kerajaan sudah
tidak lagi berada di Kahuripan, melainkan pindah ke Daha. Kerajaan ini
merupakan salah satu dari dua kerajaan pecahan Kahuripan pada tahun 1045
Wilayah Kerajaan Kediri adalah bagian selatan Kerajaan Kahuripan.
Pada akhir November 1042, Airlangga
terpaksa membelah wilayah kerajaannya karena kedua putranya bersaing
memperebutkan tahta. Putra yang bernama Sri Samarawijaya mendapatkan kerajaan
barat bernama Panjalu yang berpusat di kota baru, yaitu Daha. Sedangkan putra
yang bernama Mapanji Garasakan mendapatkan kerajaan timur bernama Jenggala yang
berpusat di kota lama, yaitu Kahuripan.
Tidak ada bukti yang jelas bagaimana
kerajaan tersebut dipecah dan menjadi beberapa bagian. Dalam babad disebutkan
bahwa kerajaan dibagi empat atau lima bagian. Tetapi dalam perkembangannya
hanya dua kerajaan yang sering disebut, yaitu Kediri (Panjalu) dan Jenggala.
Samarawijaya sebagai pewaris sah kerajaan mendapat ibukota lama, yaitu
Dahanaputra, dan nama kerajaannya diubah menjadi Panjalu atau dikenal juga
sebagai Kerajaan Kediri. Perkembangan Kerajaan Kediri Dalam perkembangannya
Kerajaan Kediri yang beribukota Daha tumbuh menjadi besar, sedangkan Kerajaan
Jenggala semakin tenggelam. Diduga Kerajaan Jenggala ditaklukkan oleh Kediri.
Menurut Nagarakretagama, sebelum dibelah
menjadi dua, nama kerajaan yang dipimpin Airlangga sudah bernama Panjalu, yang
berpusat di Daha. Jadi, Kerajaan Janggala lahir sebagai pecahan dari Panjalu.
Adapun Kahuripan adalah nama kota lama yang sudah ditinggalkan Airlangga dan
kemudian menjadi ibu kota Janggala.
Baca Juga : Kerajaan Singasari
Pada mulanya, nama Panjalu atau Pangjalu
memang lebih sering dipakai dari pada nama Kediri. Hal ini dapat dijumpai dalam
prasasti-prasasti yang diterbitkan oleh raja-raja Kediri. Bahkan, nama Panjalu
juga dikenal sebagai Pu-chia-lung dalam kronik Cina berjudul Ling wai tai ta
(1178).
Wilayah Kerajaan Kediri adalah bagian
selatan Kerajaan Kahuripan.Tak banyak yang diketahui peristiwa di masa-masa
awal Kerajaan Kediri. Raja Kameswara (1116-1136) menikah dengan Dewi Kirana,
puteri Kerajaan Janggala. Dengan demikian, berakhirlah Janggala kembali
dipersatukan dengan Kediri. Kediri menjadi kerajaan yang cukup kuat di Jawa.
Pada masa ini, ditulis kitab Kakawin Smaradahana, yang dikenal dalam
kesusastraan Jawa dengan cerita Panji.
Nama Kediri ada yang berpendapat berasal
dari kata “Kedi” yang artinya “Mandul” atau “Wanita yang tidak berdatang bulan”.Menurut
kamus Jawa Kuno Wojo Wasito, ‘Kedi” berarti Orang Kebiri Bidan atau Dukun. Di
dalam lakon Wayang, Sang Arjuno pernah menyamar Guru Tari di Negara Wirata,
bernama “Kedi Wrakantolo”.Bila kita hubungkan dengan nama tokoh Dewi Kilisuci
yang bertapa di Gua Selomangleng, “Kedi” berarti Suci atau Wadad. Disamping itu
kata Kediri berasal dari kata “Diri” yang berarti Adeg, Angdhiri, menghadiri
atau menjadi Raja (bahasa Jawa Jumenengan).
Baca Juga : Kerajaan Tarumanegara
Untuk itu dapat kita baca pada prasasti
“WANUA” tahun 830 saka, yang diantaranya berbunyi :
” Ing Saka 706 cetra nasa danami sakla
pa ka sa wara, angdhiri rake panaraban”, artinya : pada tahun saka 706 atau 734
Masehi, bertahta Raja Pake Panaraban.
Nama Kediri banyak terdapat pada
kesusatraan Kuno yang berbahasa Jawa Kuno seperti : Kitab Samaradana,
Pararaton, Negara Kertagama dan Kitab Calon Arang.Demikian pula pada beberapa
prasasti yang menyebutkan nama Kediri seperti : Prasasti Ceber, berangka tahun
1109 saka yang terletak di Desa Ceker, sekarang Desa Sukoanyar Kecamatan
Mojo.Dalam prasasti ini menyebutkan, karena penduduk Ceker berjasa kepada Raja,
maka mereka memperoleh hadiah, “Tanah Perdikan”.
Dalam prasasti itu tertulis “Sri
Maharaja Masuk Ri Siminaninaring Bhuwi Kadiri” artinya raja telah kembali
kesimanya, atau harapannya di Bhumi Kadiri.Prasasti Kamulan di Desa Kamulan
Kabupaten Trenggalek yang berangkat tahun 1116 saka, tepatnya menurut Damais
tanggal 31 Agustus 1194.Pada prasasti itu juga menyebutkan nama, Kediri, yang
diserang oleh raja dari kerajaan sebelah timur.
“Aka ni satru wadwa kala sangke purnowo”, sehingga raja meninggalkan istananya di Katangkatang (“tatkala nin kentar sangke kadetwan ring katang-katang deni nkir malr yatik kaprabon sri maharaja siniwi ring bhumi kadiri”).
Tatkala Bagawantabhari memperoleh
anugerah tanah perdikan dari Raja Rake Layang Dyah Tulodong yang tertulis di
ketiga prasasti Harinjing.Nama Kediri semula kecil lalu berkembang menjadi nama
Kerajaan Panjalu yang besar dan sejarahnya terkenal hingga sekarang.
Baca Juga : Kerajaan Samudra Pasai
B.
Raja-Raja Kerajaan Kediri
Kerajaan Kediri yang termasyhur pernah
diperintah 8 raja dari awal berdirinya sampai masa keruntuhan kerajaan ini.
Dari kedelapan raja yang pernah memerintah kerajaan ini yang sanggup membawa
Kerajaan Kediri kepada masa keemasan adalah Prabu Jayabaya, yang sangat
terkenal hingga saat ini.
Adapun 8 raja Kediri tersebut urutannya
sebagai berikut :
1.
Sri Jayawarsa
Sejarah tentang raja Sri Jayawarsa ini
hanya dapat diketahui dari prasasti Sirah Keting (1104 M). Pada masa
pemerintahannya Jayawarsa memberikan hadiah kepada rakyat desa sebagai tanda
penghargaan, karena rakyat telah berjasa kepada raja. Dari prasasti itu
diketahui bahwa Raja Jayawarsa sangat besar perhatiannya terhadap masyarakat
dan berupaya meningkatkan kesejahteraan rakyatnya.
Baca Juga : Masuknya Kerajaan Hindu Budha Di Indonesia
2.
Sri Bameswara
Raja Bameswara banyak meninggalkan
prasasti seperti yang ditemukan di daerah Tulung Agung dan Kertosono. Prasasti
seperti yang ditemukan itu lebih banyak memuat masalah-masalah keagamaan,
sehingga sangat baik diketahui keadaan pemerintahannya.
3.
Prabu Jayabaya
Kerajaan Kediri mengalami masa keemasan
ketika diperintah oleh Prabu Jayabaya. Strategi kepemimpinan Prabu Jayabaya
dalam memakmurkan rakyatnya memang sangat mengagumkan. Kerajaan yang beribu
kota di Dahono Puro, bawah kaki Gunung Kelud,
ini tanahnya amat subur, sehingga segala macam tanaman tumbuh menghijau.
Hasil pertanian dan perkebunan berlimpah ruah. Di tengah kota membelah aliran sungai Brantas. Airnya bening dan banyak hidup aneka ragam ikan, sehingga makanan berprotein dan bergizi selalu tercukupi.
Hasil bumi itu kemudian diangkut ke kota
Jenggala, dekat Surabaya, dengan naik perahu menelusuri sungai. Roda
perekonomian berjalan lancar, sehingga Kerajaan Kediri benar-benar dapat
disebut sebagai negara yang “Gemah Ripah Loh Jinawi Tata Tentrem Karta
Raharja”.
Prabu Jayabaya memerintah antara tahun
1130 sampai 1157 Masehi. Dukungan spiritual dan material dari Prabu Jayabaya
dalam hal hukum dan pemerintahan tidak tanggung-tanggung. Sikap merakyat dan
visinya yang jauh ke depan menjadikan Prabu Jayabaya layak dikenang sepanjang
masa.
Jika rakyat kecil hingga saat ini ingat
kepada beliau, hal itu menunjukkan bahwa pada masanya berkuasa tindakan beliau
yang selalu bijaksana dan adil terhadap rakyat.
Baca Juga : Bab 1 Gerak Benda Dan Makhluk Hidup Di Lingkungan Sekitar Bagian 3
4.
Sri Sarwaswera
Sejarah tentang raja ini didasarkan pada
prasasti Padelegan II (1159) dan prasasti Kahyunan (1161). Sebagai raja yang
taat beragama dan berbudaya, Sri Sarwaswera memegang teguh prinsip “tat wam
asi”, yang berarti “dikaulah itu, dikaulah (semua) itu, semua makhluk adalah
engkau”.
Menurut Prabu Sri Sarwaswera, tujuan
hidup manusia yang terakhir adalah moksa, yaitu pemanunggalan jiwatma dengan
paramatma. Jalan yang benar adalah sesuatu yang menuju arah kesatuan, sehingga
segala sesuatu yang menghalangi kesatuan adalah tidak benar.
Baca Juga : Bab 1 Gerak Benda Dan Makhluk Hidup Di Lingkungan Sekitar Bagian 2
5.
Sri Aryeswara
Berdasarkan prasasti Angin (1171), Sri
Aryeswara adalah raja Kediri yang memerintah sekitar tahun 1171. Nama gelar
abhisekanya ialah Sri Maharaja Rake Hino Sri Aryeswara Madhusudanawatara
Arijamuka.
Tidak diketahui dengan pasti kapan Sri
Aryeswara naik tahta. peninggalan sejarahnya berupa prasasti Angin, 23 Maret
1171. Lambang Kerajaan Kediri pada saat itu Ganesha. Tidak diketahui pula kapan
pemerintahannya berakhir. Raja Kediri selanjutnya berdasarkan prasasti Jaring
adalah Sri Gandra.
Baca Juga : Bab 2 Klasifikasi Makhluk Hidup Bagian Ketiga
6.
Sri Gandra
Masa pemerintahan Raja Sri Gandra (1181
M) dapat diketahui dari prasasti Jaring, yaitu tentang penggunaan nama hewan
dalam kepangkatan seperti seperti nama gajah, kebo, dan tikus. Nama-nama
tersebut menunjukkan tinggi rendahnya pangkat seseorang dalam istana.
Baca Juga : Bab 2 Klasifikasi Makhluk Hidup Bagian Kedua
7.
Sri Kameswara
Masa pemerintahan Raja Sri Gandra dapat
diketahui dari Prasasti Ceker (1182) dan Kakawin Smaradhana. Pada masa
pemerintahannya dari tahun 1182 sampai 1185 Masehi, seni sastra mengalami
perkembangan sangat pesat, diantaranya Empu Dharmaja mengarang kitab
Smaradhana. Bahkan pada masa pemerintahannya juga dikeal cerita-cerita panji
seperti cerita Panji Semirang.
Baca Juga : Bab 1 Sistem Reproduksi Pada Manusia Bagian Pertama
8.
Sri Kertajaya
Berdasarkan prasasti Galunggung (1194),
prasasti Kamulan (1194), prasasti Palah (1197), prasasti Wates Kulon (1205),
Nagarakretagama, dan Pararaton, pemerintahan Sri Kertajaya berlangsung pada
tahun 1190 hingga 1222 Masehi.
Raja Kertajaya juga dikenal dengan
sebutan “Dandang Gendis”. Selama masa pemerintahannya, kestabilan kerajaan
menurun. Hal ini disebabkan Kertajaya ingin mengurangi hak-hak kaum Brahmana.
Keadaan ini ditentang oleh kaum
Brahmana. Kedudukan kaum Brahmana di Kerajaan Kediri waktu itu semakin tidak
aman. Kaum Brahmana banyak yang lari dan minta bantuan ke Tumapel yang saat itu
diperintah oleh Ken Arok.
Mengetahui hal ini Raja Kertajaya
kemudian mempersiapkan pasukan untuk menyerang Tumapel. Sementara itu Ken Arok
dengan dukungan kaum Brahmana melakukan serangan ke Kerajaan Kediri. Kedua
pasukan itu bertemu di dekat Ganter (1222 M).
Baca Juga : Bab 2 Klasifikasi Makhluk Hidup Bagian Pertama
C.
Kitab / Sistem Perundang-undangan Kediri
Sistem Perundang-undangan Kerajaan
Kediri disusun oleh para ahli hukum yang tergabung dalam Dewan Kapujanggan
Istana. Sebelum menjalankan tugasnya para pakar hukum tadi senantiasa melakukan
studi banding dalam hal penyusunan hukum serta konstitusi dari negeri lain.
Produk hukum yang telah dihasilkan oleh dewan tersebut yaitu Kitab Darmapraja.
Kitab ini merupakan karya pustaka yang berisi Tata Tertib Penyelenggaraan
Pemerintahan dan Kenegaraan. Dalam soal pengadilan, Raja selalu mengikuti
Undang-undang ini, sehingga adil segala keputusan yang diambilnya, membuat puas
semua pihak (Brandes, 1896:88).
Pada pasal-pasal kitab tersebut, kata
“agama” dapat ditafsirkan sebagai Undang-undang atau Kitab Perundang-undangan.
Kadang yang berbeda ini perumusannya saja, yang satu lebih panjang daripada
yang lain dan merupakan kelengkapan atau penjelasan dari pasal sejenis yang
pendek. Kitab Perundang-undangan Agama adalah terutama Kitab Undang-undang
Hukum Pidana. Namun di samping Kitab Undang-undang Hukum Pidana terdapat juga
Undang-undang Hukum Perdata.
Tata cara jual-beli, pembagian warisan,
pernikahan dan perceraian masuk dalam Undang-undang Hukum Perdata (Hazeu,
1987:87). Memang pada zaman Kadiri belum ada perincian tegas antara
Undang-undang Hukum Pidana dan Hukum Perdata. Menurut sejarah per
Undang-undangan Hukum Perdata tumbuh dari Hukum Pidana, jadi percampuran Hukum
Perdata dan Hukum Pidana dalam Kitab Perundang-undangan Agama di atas bukan
suatu keganjilan ditinjau dari segi sejarah hukum.
Baca
Juga : Bab 1 Sistem Reproduksi Pada Manusia
D.
Sistem Peradilan Kerajaan Kediri
Sistem peradilan Kerajaan Kediri
bertujuan untuk mencapai kepastian hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan dan
kerajaan (Stutterheim, 1930:254). Dengan adanya kepastian hukum, maka hak dan
kewajiban semua warga kerajaan dapat dijamin. Keseimbangan antara hak dan
kewajiban warga kerajaan telah membuktikan serta membuahkan ketentraman lahir
dan batin. Aparat dan rakyat menghormati hukum atau darma semata-mata demi
terjaganya kepentingan bersama.
Semua keputusan dalam pengadilan diambil
atas nama Raja yang disebut Sang Amawabhumi artinya orang yang mempunyai atau
menguasai negara. Dalam Mukadimah Darmapraja ditegaskan demikian:
Baca Juga : Bab 1 Objek Ipa Dan Pengamatannya
Semoga Sang Amawabhumi teguh hatinya
dalam menerapkan besar kecilnya denda, jangan sampai salah trap. Jangan sampai
orang yang bertingkah salah, luput dari tindakan. Itulah kewajiban Sang
Amawabhumi, jika beliau mengharapkan kerahayuan negaranya (Moedjanto, 1994:56).
Dalam soal pengadilan, Raja dibantu oleh
dua orang Adidarma Dyaksa. Seorang Adidarma Dyaksa Kasiwan dan seorang Adidarma
Dyaksa Kabudan, yakni kepala agama Siwa dan kepala agama Buda dengan sebutan
Sang Maharsi, karena kedua agama itu merupakan agama utama dalam Kerajaan
Kadiri dan segala Perundang-undangan didasarkan agama.
Kedudukan Adidarma Dyaksa boleh
disamakan dengan kedudukan Hakim Tinggi. Mereka itu dibantu oleh lima Upapati
artinya : pembantu dalam pengadilan adalah pembantu Adidarma Dyaksa. Mereka itu
biasa disebut Pamegat atau Sang Pamegat artinya : Sang Pemutus alias Hakim.
Baik Adidarma Dyaksa maupun Upapati bergelar Sang Maharsi. Mula-mula jumlahnya
hanya lima yakni : Sang Pamegat Tirwan, Sang Pamegat Kandamuhi, Sang Pamegat
Manghuri, Sang Pamegat Jambi, Sang Pamegat Pamotan.
Baca Juga : Manfaat Rumput Bagi Kesehatan
Mereka itu semuanya termasuk golongan
Kasiwan, karena agama Siwa adalah agama resmi negara Kadiri dan mempunyai
pengikut paling banyak. Pada zaman pemerintahan Prabu Jayabhaya jumlah Upapati
ditambah dua menjadi tujuh. Keduanya termasuk golongan Kabudan, sehingga ada lima
Upapati Kasiwan dan dua Upapati Kabudan. Perbandingan itu sudah layak mengingat
jumlah pemeluk agama Buda kalah banyak dengan jumlah pemeluk agama Siwa. Dua
Upapati Kabudan itu ialah Sang Pamegat Kandangan Tuha dan Sang Pamegat
Kandangan Rare.
Ketika Prabu Jayabaya bertahta di
Mamenang, beliau dihadap oleh pelbagai pembesar, di antaranya Dyaksa, Upapati
dan Para Panji yang paham tentang Undang-undang (Rassers, 1959:243). Dari
uraian itu nyata bahwa Para Panji adalah pembantu para Upapati dalam melakukan
pengadilan di daerah-daerah. Pangkat Panji masih dikenal di kesultanan
Yogyakarta sampai tahun 1940. Para Panji di Kesultanan Yogya diserahi tugas
pengadilan. Jadi tidak berbeda dengan Para Panji pada zaman Kadiri.
Lembaga peradilan kerajaan ini bertanggung
jawab kepada Raja secara langsung. Akan tetapi silang sengketa yang menyangkut
kepenting¬an Raja dan keluarganya, menggunakan peradilan khusus, sehingga
kontaminasi dan intervensi terhadap hasil putusan dapat dihindari. Dalam hal
ini Raja mempunyai staf hukum yang mumpuni, profesional dan tidak diragukan
lagi integritas serta kredibilitasnya.
Baca Juga : Dipercaya Mampu Tangkal Corona, Ini Manfaat Serai
E.
Hukum Positif dan Budaya Simbolik
Dalam masa pemerintahan Prabu Jayabaya,
prinsip pelaksanaan kenegaraan terbagi menjadi dua yakni hukum positif dan
budaya simbolik. Hukum positif merupakan hukum yang berlaku berdasar peraturan
tertulis yang disepakati bersama. Biasanya hukum ini bersifat praktis, teknis
dan mikro. Semua transaksi dan lika-liku kehidupan yang menyang kut jual beli,
dagang, ekonomi, politik, karier, birokrasi, organisasi dan perkawinan diatur
secara rinci. Pelanggaran hukum dan dendanya pun diatur secara detail.
Di samping hukum positif, dalam menata
masyarakatnya Prabu Jayabhaya menggunakan pendekatan budaya simbolik. Untuk
menunjang keberhasilan program ini, maka diperintahkanlah para pujangga untuk
menulis karya cipta. Tujuannya agar aparat dan rakyat patuh pada norma susila.
Hanya saja apabila terjadi pelanggaran maka hukuman dan sangsinya bersifat
ghaib spiritual. Pujangga yang diberi tugas menulis kitab spiritual itu di
antaranya adalah Empu Sedah dan Empu Panuluh.
Baca Juga : Hukum Newton Tentang Gerak
Empu Sedah adalah penyusun Kakawin
Baratayudha pada tahun 1079 Saka atau 1157 Masehi, dengan sengkalan berbunyi
Sangha Kuda Suddha Candrama. Hanya saja, Empu Sedah keburu meninggal sebelum
karyanya selesai. Kakawin Baratayudha dipersembahkan kepada Prabu Jayabhaya,
Mapanji Jayabhaya, Jayabhaya Laksana atau Sri Warmeswara.
Tingkat kecerdasan rakyat memang
berbeda-beda. Hukum positif yang disusun oleh elit negara, kadang kala kurang
bisa dipahami oleh rakyat awam. Keadaan ini disadari oleh para Raja Kadiri.
Oleh karena itu demi terciptanya susasana yang harmonis, lantas diciptakan
nasehat-nasehat simbolis berbau mistis. Kenyataannya pesan-pesan spitirual
Prabu Jayabhaya yang dibungkus dengan ramalan ghaib tadi dipercaya oleh
sebagian besar masyarakat. Sebagai pelengkap dan pengiring hukum positif, maka
budaya simbolik tersebut dapat digunakan untuk mencapai ketertiban sosial.
Prabu Jayabaya adalah raja besar laksana
Dewa Keadilan yang angejawantah ing madyapada. Sikap hidupnya benar-benar
bijaksana. Kewibawaannya telah membuat ketentraman dan kemuliaan jagat raya,
yang membuat Kerajaan Kadiri mencapai masa kejayaan dan keemasan.
Baca Juga : Manfaat Nanas Bagi Ibu Hamil
Selama Prabu Jayabaya memegang kendali
pemerintahan dan tata praja, Nusantara sungguh-sungguh diperhitungkan di
kawasan Asia Tenggara, Asia Tengah dan Asia Selatan. Beliau berhasil mewujudkan
negara yang Gedhe Obore, Padhang Jagade, Dhuwur Kukuse, Adoh Kuncarane, Ampuh
Kawibawane. Masyarakat merasakan negara yang Gemah Ripah Loh Jinawi, Tata
Tentrem Karta Raharja. Konsep Saptawa, dijadikan sebagai program utama yaitu :
1. Wastra (sandang)
2. Wareg (pangan)
3. Wisma (papan)
4. Wasis (pendidikan)
5. Waras (kesehatan)
6. Waskita (keruhanian), dan
7. Wicaksana (kebijaksanaan).
Baca Juga : Manfaat Nanas Bagi Kesehatan
Masyarakat Jawa percaya bahwa Prabu
Jayabaya selalu bersikap arif dan bijaksana serta menjunjung hukum yang
berlaku. Semua golongan masyarakat bersatu padu mendukung pemerintahannya.
Refleksi kearifan warisan para leluhur raja Jawa dijadikan referensi untuk
membawa kebesaran Nusantara.
Kebesaran dan kejayaan Kerajaan Kediri,
di samping faktor kepemimpinan rajanya yang selalu mengutamakan kepentingan
umum, juga didukung oleh kejeliannya dalam menyusun Undang-undang dasar yang
mengikat sekalian warganya. Kepatuhan pada konstitusi telah membuat ketertiban
di seluruh kawasan Kerajaan Kadiri. Aparat kerajaan yang terdiri dari pejabat
sipil dan militer bekerja sesuai dengan amanat konstitusi, sehingga segala
kebijakan kerajaan membuahkan kemakmuran dan ketentraman rakyat.
Baca
Juga : Manfaat Nanas Bagi Kecantikan
F.
Bukti Peninggalan Sejarah Kerajaan Kediri
Sumber sejarah kerajaan Kediri dapat di telusuri dari beberapa prasasti dan berita asing di antaranya :
1. Prasasti Banjaran berangka tahun 1052
M menjelaskan kemenangan Panjalu atas
Jenggala.
2. Prasasti Hantang berangka tahun 1052
M menjelaskan Panjalu pada masa Jayabaya.
3. Prasasti Sirah Keting (1104 M),
memuat pemberian hadiah tanah kepada
rakyat desa oleh Jayawarsa.
4. Prasasti yang ditemukan di
Tulungagung dan Kertosono berisi masalah
keagamaan , berasal dari raja
Bameswara.
5. Prasasti Ngantang (1135M),
menyebutkan raja Jayabaya yang
memberikan hadiah kepada rakyat desa Ngantang sebidang tanah yang bebas dari
pajak.
6. Prasasti Jaring (1181M), dari raja
Gandra yang memuat sejumlah nama pejabat dengan menggunakan nama hewan seperi
Kebo Waruga dan Tikus Jinada.
7. Prasasti Kamulan (1194M) , memuat
masa pemerintahan Kertajaya , dimana Kediri berhasil mengalahkan musuh yang
telah memusuhi istana Katang-Katang.
Baca Juga : Manfaat Nanas Bagi Kesehatan
8. Candi Penataran : Candi termegah dan
terluas di Jawa Timur ini terletak di lereng barat daya Gunung Kelud, di
sebelah utara Blitar, pada ketinggian 450 meter dpl. Dari prasasti yang
tersimpan di bagian candi diperkirakan candi ini dibangun pada masa Raja
Srengga dari Kerajaan Kediri sekitar tahun 1200 Masehi dan berlanjut digunakan
sampai masa pemerintahan Wikramawardhana, Raja Kerajaan Majapahit sekitar tahun
1415.
9. Candi Gurah : Candi Gurah terletak di
kecamatan di Kediri, Jawa Timur. Pada tahun 1957 pernah ditemukan sebuah candi
yang jaraknya kurang lebih 2 km dari Situs Tondowongso yang dinamakan Candi
Gurah namun karena kurangnya dana kemudian candi tersebut dikubur kembali.
10. Candi Tondowongso : Situs
Tondowongso merupakan situs temuan purbakala yang ditemukan pada awal tahun
2007 di Dusun Tondowongso, Kediri, Jawa Timur. Situs seluas lebih dari satu
hektare ini dianggap sebagai penemuan terbesar untuk periode klasik sejarah
Indonesia dalam 30 tahun terakhir (semenjak penemuan Kompleks Percandian
Batujaya), meskipun Prof.Soekmono pernah menemukan satu arca dari lokasi yang
sama pada tahun 1957. Penemuan situs ini diawali dari ditemukannya sejumlah
arca oleh sejumlah perajin batu bata setempat.Berdasarkan bentuk dan gaya
tatahan arca yang ditemukan, situs ini diyakini sebagai peninggalan masa
Kerajaan Kediri awal (abad XI), masa-masa awal perpindahan pusat politik dari
kawasan Jawa Tengah ke Jawa Timur. Selama ini Kerajaan Kediri dikenal dari
sejumlah karya sastra namun tidak banyak diketahui peninggalannya dalam bentuk
bangunan atau hasil pahatan.
Baca Juga : Akar Tunggang dan Akar Serabut
11. Arca Buddha Vajrasattva : Arca
Buddha Vajrasattva ini berasal dari zaman Kerajaan Kediri (abad X/XI). Dan
sekarang merupakan Koleksi Museum für Indische Kunst, Berlin-Dahlem, Jerman.
Prasasti Galunggung : Prasasti
Galunggung memiliki tinggi sekitar 160 cm, lebar atas 80 cm, lebar bawah 75 cm.
Prasasti ini terletak di Rejotangan, Tulungagung. Di sekeliling prasasti
Galunggung banyak terdapat tulisan memakai huruf Jawa kuno. Tulisan itu
berjajar rapi. Total ada 20 baris yang masih bisa dilihat mata. Sedangkan di
sisi lain prasasti beberapa huruf sudah hilang lantaran rusak dimakan usia. Di
bagian depan, ada sebuah lambang berbentuk lingkaran. Di tengah lingkaran
tersebut ada gambar persegi panjang dengan beberapa logo. Tertulis pula angka
1123 C di salah satu sisi prasasti.
12. Candi Tuban : Pada tahun 1967,
ketika gelombang tragedi 1965 melanda Tulungagung. Aksi Ikonoklastik, yaitu
aksi menghancurkan ikon – ikon kebudayaan dan benda yang dianggap berhala
terjadi. Candi Mirigambar luput dari pengrusakan karena adanya petinggi desa
yang melarang merusak candi ini dan kawasan candi yang dianggap angker.Massa
pun beralih ke Candi Tuban, dinamakan demikian karena candi ini terletak di
Dukuh Tuban, Desa Domasan, Kecamatan Kalidawir, Kabupaten Tulungagung. Candi
ini terletak sekitar 500 meter dari Candi Mirigambar. Candi Tuban sendiri hanya
tersisa kaki candinya. Setelah dirusak, candi ini dipendam dan kini diatas
candi telah berdiri kandang kambing, ayam dan bebek.Menurut Pak Suyoto, jika
warga mau kembali menggalinya, maka kira – kira setengah sampai satu meter dari
dalam tanah, pondasi Candi Tuban bisa tersingkap dan relatif masih utuh.
Pengrusakan atas Candi Tuban juga didasari legenda bahwa Candi Tuban
menggambarkan tokoh laki – laki Aryo Damar, dalam legenda Angling Dharma dan
jika sang laki – laki dihancurkan, maka dapat dianggap sebagai kemenangan.
Baca Juga : Bagian Bagian Bunga Beserta Fungsinya
12. Prasasti Panumbangan : Pada tanggal
2 Agustus 1120 Maharaja Bameswara mengeluarkan prasasti Panumbangan tentang
permohonan penduduk desa Panumbangan agar piagam mereka yang tertulis di atas
daun lontar ditulis ulang di atas batu. Prasasti tersebut berisi penetapan desa
Panumbangan sebagai sima swatantra oleh raja sebelumnya yang dimakamkan di
Gajapada. Raja sebelumnya yang dimaksud dalam prasasti ini diperkirakan adalah
Sri Jayawarsa.
13. Prasasti Talan : Prasasti Talan/
Munggut terletak di Dusun Gurit, Kabupaten Blitar. Prasasti ini berangka tahun
1058 Saka (1136 Masehi). Cap prasasti ini adalah berbentuk Garudhamukalancana
pada bagian atas prasasti dalam bentuk badan manusia dengan kepala burung
garuda serta bersayap.Isi prasasti ini berkenaan dengan anugerah sima kepada
Desa Talan yang masuk wilayah Panumbangan memperlihatkan prasasti diatas daun
lontar dengan cap kerajaan Garudamukha yang telah mereka terima dari Bhatara
Guru pada tahun 961 Saka (27 Januari 1040 Masehi) dan menetapkan Desa Talan
sewilayahnya sebagai sima yang bebas dari kewajiban iuran pajak sehingga mereka
memohon agar prasasti tersebut dipindahkan diatas batu dengan cap kerajaan
Narasingha.Raja Jayabhaya mengabulkan permintaan warga Talan karena kesetiaan
yang amat sangat terhadap raja dan menambah anugerah berupa berbagai macam hak
istimewa.
Baca Juga : Bagian-Bagian Akar Beserta Fungsinya
Peninggalan
Kitab Kerajaan Kediri
Pada zaman Kediri karya sastra
berkembang pesat sehingga banyak karya sastra yang dihasilkan. Karya sastra
tersebut adalah sebagai berikut :
1. Kitab Wertasancaya karangan Empu Tan
Akung yang berisi petunjuk tentang cara membuat syair yang baik.
2. Kitab Smaradhahana yang digubah oleh
Empu Dharmaja dan berisi pujian kepada raja sebagai titisan Dewa Kama. Kitab
ini juga menyebutkan bahwa nama ibu kota kerajaannya adalah Dahana.
3. Kitab Lubdaka karangan Empu Tan Akung
yang berisi kisah Lubdaka sebagai seorang pemburu yang mestinya masuk neraka.
Karena pemujaannya yang istimewa, ia ditolong dewa dan rohnya diangkat ke
surga.
4. Kitab Kresnayana karangan Empu
Triguna yang berisi riwayat Kresna sebagai anak nakal, tetapi dikasihi setiap
orang karean suka menolong dan sakti.
Baca Juga : Bagian-bagian Tumbuhan Beserta Fungsinya
5. Kitab Samanasantaka karangan Empu
Monaguna yang mengisahkan Bidadari Harini yang terkenal untuk Begawan
Trenawindu.
6. Kitab Baharatayuda yang diubah oleh
Empu Sedah dan Empu Panuluh.
7. Kitab Gatotkacasraya dan Kitab
Hariwangsa yang diubah oleh Empu Panuluh.
Baca Juga : Gerak Pada Tumbuhan
G.
Kehidupan Politik Dan Pemerintahan Kerajaan Kediri
Mapanji Garasakan memerintah tidak lama.
Ia digantikan Raja Mapanji Alanjung (1052 – 1059 M). Mapanji Alanjung kemudian
diganti lagi oleh Sri Maharaja Samarotsaha. Pertempuran yang terus menerus
antara Jenggala dan Panjalu menyebabkan selama 60 tahun tidak ada berita yang jelas
mengenai kedua kerajaan tersebut hingga munculnya nama Raja Bameswara (1116 –
1135 M) dari Kediri.
Pada masa itu ibu kota Panjalu telah
dipindahkan dari Daha ke Kediri sehingga kerajaan ini lebih dikenal dengan nama
Kerajaan Kediri. Raja Bameswara menggunakan lencana kerajaan berupa tengkorak
bertaring di atas bulan sabit yang biasa disebut Candrakapala. Setelah Bameswara turun takhta, ia digantikan
Jayabaya yang dalam masa pemerintahannya itu berhasil mengalahkan Jenggala.
Berturut-turut raja-raja Kediri sejak Jayabaya sebagai berikut.
Pada tahun 1019 M Airlangga dinobatkan
menjadi raja Medang Kamulan. Airlangga berusaha memulihkan kembali kewibawaan
Medang Kamulan, setelah kewibawaan kerajaan berahasil dipulihkan, Airlangga
memindahkan pusat pemerintahan dari Medang Kamulan ke Kahuripan. Berkat jerih
payahnya , Medang Kamulan mencapai kejayaan dan kemakmuran. Menjelang akhir
hayatnya , Airlangga memutuskan untuk mundur dari pemerintahan dan menjadi
pertapa dengan sebutan Resi Gentayu. Airlangga meninggal pada tahun 1049 M.
Pewaris tahta kerajaan Medang Kamulan
seharusnya seorang putri yaitu Sri Sanggramawijaya yang lahir dari seorang
permaisuri. Namun karena memilih menjadi pertapa, tahta beralih pada putra
Airlangga yang lahir dari selir. Untuk menghindari perang saudara, Medang
Kamulan dibagi menjadi dua yaitu kerajaan Jenggala dengan ibu kota Kahuripan,
dan kerajaan Kediri (Panjalu) dengan ibu kota Dhaha. Tetapi upaya tersebut
mengalami kegagalan.
Hal ini dapat terlihat hingga abad ke 12
, dimana Kediri tetap menjadi kerajaan yang subur dan makmur namun tetap tidak
damai sepenuhnya dikarenakan dibayang- bayangi Jenggala yang berada dalam
posisi yang lebih lemah. Hal itu menjadikan suasana gelap, penuh kemunafikan
dan pembunuhan berlangsung terhadap pangeran dan raja – raja antar kedua
negara. Namun perseteruan ini berakhir dengan kekalahan jenggala, kerajaan
kembali dipersatukandi bawah kekuasaan Kediri.
Baca Juga : Ginjal : Fungsi, Struktur Ginjal dan Penyakit Ginjal
H.
Kehidupan Ekonomi Kerajaan Kediri
Strategi kepemimpinan Prabu Jayabaya
dalam memakmurkan rakyatnya memang sangat mengagumkan (Gonda, 1925 : 111).
Kerajaan yang beribukota di Dahanapura bawah kaki Gunung Kelud ini tanahnya
amat subur, sehingga segala macam tanaman tumbuh menghijau. Pertanian dan
perkebunan hasilnya berlimpah ruah. Di tengah kota membelah aliran sungai
Brantas. Airnya bening dan banyak hidup aneka ragam ikan, sehingga makanan
berprotein dan bergizi selalu tercukupi.
Hasil bumi itu kemudian diangkut ke Kota
Jenggala, dekat Surabaya, dengan naik perahu menelusuri sungai. Roda perekonomian
berjalan lancar sehingga Kerajaan Kadiri benar-benar dapat disebut sebagai
negara yang Gemah Ripah Loh Jinawi Tata Tentrem Karta Raharja.
Dalam kehidupan ekonomi diceritakan
bahwa perekonomian Kediri bersumber atas usaha
perdagangan, peternakan, dan pertanian. Kediri terkenal sebagai
penghasil beras,menanam kapas dan memelihara ulat sutra. Dengan demikian
dipandang dariaspek ekonomi, kerajaan Kediri sudah cukup makmur. Hal ini
terlihat dari kemampuan kerajaan memberikan penghasilan tetap kepada para
pegawainya walaupun hanya dibayar dengan hasil bumi. Demikian keterangan yang
diperoleh berdasarkan kitab Chi-Fan-Chi dan kitab Ling-wai-tai-ta.
Untuk menopang penghasilan kerajaan , diberlakukan sistem
pajak. Komoditas dagang berupa beras, emas, perak, daging, dan kayu cendana. Adapun bentuk pajak berupa
beras, kayu, dan palawija.
Baca Juga : Hati (Hepar) : Fungsi, Struktur dan Penyakit pada Hati
I.
Kehidupan Agama dan Spiritual Kerajaan Kediri
Agama yang berkembang di Kediri adalah
agama hindu aliran Waisnawa ( Airlangga titisan Wisnu). Dalam bidang spiritual
di Kerajaan Kediri juga sangat maju (Pigeaud, 1924:67). Tempat ibadah dibangun
di mana-mana. Para guru kebatinan mendapat tempat yang terhormat. Bahkan Sang
Prabu sendiri kerap melakukan tirakat, tapa brata dan semedi. Beliau suka
bermeditasi di tengah hutan yang sepi. Laku prihatin dengan cegah dhahar lawan
guling, mengurangi makan tidur.
Hal ini menjadi aktifitas ritual
sehari-hari. Tidak mengherankan apabila Prabu Jayabhaya ngerti sadurunge
winarah (Tahu sebelum terjadi) yang bisa meramal owah gingsire jaman. Ramalan
itu sungguh relevan untuk membaca tanda-tanda jaman saat ini.
Prabu Jayabaya memerintah antara 1130 –
1157 M. Dukungan spiritual dan material dari Prabu Jayabaya dalam hal hukum dan
pemerintahan tidak tanggung-tanggung. Sikap merakyat dan visinya yang jauh ke
depan menjadikan Prabu Jayabaya layak dikenang sepanjang masa. Kalau rakyat
kecil hingga saat ini ingat pada beliau, hal itu menunjukkan bahwa pada masanya
berkuasa tindakannya selalu bijaksana dan adil terhadap rakyatnya.
Baca Juga : Kulit : Fungsi, Struktur dan Penyakit pada Kulit
Kehidupan beragama sudah diatur juga
dalam Undang-undang. Tiap bab memuat pasal-pasal yang sejenis, sehingga ada
sistematika dalam penyusunan. Sudah pasti bahwa susunannya semula menganut
suatu sistem. Kitab hukum per Undang-undangan itu disusun sebagai berikut :
Bab I
Sama Beda Dana Denda, berisi ketentuan
diplomasi, aliansi, konstribusi
dan sanksi.
Bab II
Astadusta, berisi tentang sanksi delapan
kejahatan (penipuan, pemerasan, pencurian, pemerkosaan, penganiayaan,
pembalakan, penindasan dan pembunuhan)
Bab III
Kawula, berisi tentang hak-hak dan
kewajiban masyarakat sipil.
Bab IV
Astacorah, berisi tentang delapan macam
penyimpangan administrasi kenegaraan.
Bab V
Sahasa, berisi tentang sistem
pelaksanaan transaksi yang berkaitan pengadaan barang dan jasa.
Bab VI
Adol-atuku, berisi tentang hukum
perdagangan.
Bab VII
Gadai atau Sanda, berisi tentang tata
cara pengelolaan lembaga pegadaian.
Baca Juga : Paru-Paru : Fungsi, Struktur dan Penyakit pada Paru paru
Bab
VIII
Utang-apihutang, berisi aturan
pinjam-meminjam
Bab IX
Titipan, berisi tentang sistem lumbung
dan penyimpanan barang.
Bab X
Pasok Tukon, berisi tentang hukum
perhelatan.
Bab XI
Kawarangan, berisi tentang hukum
perkawinan.
Bab XII
Paradara, berisi hukum dan sanksi tindak
asusila.
Bab XIII
Drewe kaliliran, berisi tentang sistem
pembagian warisan.
Bab XIV
Wakparusya, berisi tentang sanksi
penghinaan dan pencemaran nama baik.
Bab XV
Dendaparusya, berisi tentang sanksi
pelanggaran administrasi
Bab XVI
Kagelehan, berisi tentang sanksi
kelalaian yang menyebabkan kerugian
publik.
Bab XVII
Atukaran, berisi tentang sanksi karena
menyebarkan permusuhan.
Bab XVIII
Bumi, berisi tentang tata cara pungutan
pajak
Bab XX
Dwilatek, berisi tentang sanksi karena
melakukan kebohongan publik.
Baca Juga : 5 Alat Indera pada Manusia, Bagian-Bagian, Beserta Fungsinya
J.
Kehidupan Sosial Dan Budaya
Kondisi masyarakat Kediri sudah teratur.
Penduduknya sudah memakai kain sampai di bawah lutut, rambut diurai, serta
rumahnya bersih dan rapi. Dalam perkawinan, keluarga pengantin wanita menerima
maskawin berupa emas. Orang-orang yang sakit memohon kesembuhan kepada dewa dan
Buddha.
Perhatian raja terhadap rakyatnya sangat
tinggi. Hal itu dibuktikan pada kitab Lubdaka yang berisi tentang kehidupan
sosial masyarakat pada saat itu. Tinggi rendahnya martabat seseorang bukan
berdasarkan pangkat dan harta bendanya, tetapi berdasarkan moral dan tingkah
lakunya. Raja juga sangat menghargai dan menghormati hak-hak rakyatnya.
Akibatnya, rakyat dapat leluasa menjalankan aktivitas kehidupan sehari-hari.
Pada zaman Kediri karya sastra
berkembang pesat. Banyak karya sastra yang dihasilkan. Pada masa pemerintahan
Jayabaya, raja pernah memerintahkan kepada Empu Sedah untuk mengubah kitab
Bharatayuda ke dalam bahasa Jawa Kuno. Karena tidak selesai, pekerjaan itu
dilanjutkan oleh Empu Panuluh. Dalam kitab itu, nama Jayabaya disebut beberapa
kali sebagai sanjungan kepada rajanya. Kitab itu berangka tahun dalam bentuk
candrasangkala, sangakuda suddha candrama (1079 Saka atau 1157 M). Selain itu,
Empu Panuluh juga menulis kitab Gatutkacasraya dan Hariwangsa.
Pada masa pemerintahan Kameswara juga
ditulis karya sastra, antara lain sebagai berikut.
Kitab Wertasancaya, yang berisi petunjuk
tentang cara membuat syair yang baik. Kitab itu ditulis oleh Empu Tan Akung.
Kitab Smaradhahana, berupa kakawin yang
digubah oleh Empu Dharmaja. Kitab itu berisi pujian kepada raja sebagai seorang
titisan Dewa Kama. Kitab itu juga menyebutkan bahwa nama ibu kota kerajaannya
adalah Dahana.
Kitab Lubdaka, ditulis oleh Empu Tan
Akung. Kitab itu berisi kisah Lubdaka sebagai seorang pemburu yang mestinya
masuk neraka. Karena pemujaannya yang istimewa, ia ditolong dewa dan rohnya
diangkat ke surga.
Selain karya sastra tersebut, masih ada
karya sastra lain yang ditulis pada zaman Kediri, antara lain sebagai berikut.
Kitab Kresnayana karangan Empu Triguna
yang berisi riwayat Kresna sebagai anak nakal, tetapi dikasihi setiap orang
karena suka menolong dan sakti. Kresna akhirnya menikah dengan Dewi Rukmini.
Kitab Samanasantaka karangan Empu
Managuna yang mengisahkan Bidadari Harini yang terkena kutuk Begawan
Trenawindu.
Adakalanya cerita itu dijumpai dalam
bentuk relief pada suatu candi. Misalnya, cerita Kresnayana dijumpai pada
relief Candi Jago bersama relief Parthayajna dan Kunjarakarna.
Baca Juga : Hidung : Pengertian, Struktur, Fungsi, Cara Kerja dan Penyakit pada Hidung
K.
Karya di Bidang Hukum Tata Negara
Empu Triguna hidup pada masa pemerintahan
Prabu Jayawarsa di Panjalu pada tahun 1026 Saka atau 1104 Masehi
(Poerbatjaraka, 1957: 18). Prabu Jayawarsa ini juga menjadi patron bagi para
pujangga dalam mengembangkan dinamika ilmu hukum dan tata praja. Para
cendekiawan yang berbakat diberi fasilitas untuk mengaktualisasikan
idealismenya.
Pernyataan ini didukung, sebenarnya
sudah digarisbawahi oleh pujangga kita dahulu. Karya hukum dan tata praja yang
telah diciptakan oleh Empu Triguna adalah Kakawin Kresnayana. Kakawin
Kresnayana berisi tentang ilmu hukum dan pemerintahan. Prabu Jayawarsa juga
amat peduli dengan kehidupan ilmu pengetahuan, sebagai tanda bahwa beliau juga
seorang humanis. Empu Manoguna adalah rekan seangkatan Empu Triguna. Keduanya
merupakan pujangga istana jaman Prabu Jayawarsa di Kerajaan Kadiri.
Baca Juga : Kulit : Fungsi, Struktur dan Penyakit pada Kulit
Menilik nama Empu Manoguna dan Triguna
ada bagian yang sama, kemungkinan besar dapat diduga keduanya masih ada
hubungan kerabat atau seperguruan. Yang jelas kedua Empu ini adalah konsultan
dan penasehat utama Prabu Jayawarsa.
Karya hukum dan tata praja ciptaan Empu
Manoguna adalah Kakawin Sumanasantaka, cerita yang bersumber dari Kitab
Raguwangsa karya pujangga besar dari India, Sang Kalisada. Pengaruh India ke
dalam kehidupan masyarakat Jawa Kuno memang besar, baik yang bersifat Hindu
maupun Buda. Hal ini tampak dengan ungkapan bahasa Sansekerta yang masuk dalam
kosakata ilmu pengetahuan Jawa Kuno. Sumanasantaka berasal dari kata sumanasa =
kembang dan antaka = mati. Artinya adalah mati oleh kembang. Serat
Sumanasantaka menceritakan kebijaksanaan seorang raja dalam memimpin rakyatnya.
Karya hukum dan tata praja Empu Dharmaja
yang terkenal adalah Kakawin Smaradahana dan Kakawin Bomakawya. Kitab
Smaradahana menceritakan Batara Kamajaya yang punya sifat keagungan. Kitab
Bomakawya menurut Teeuw (1946:97) menceritakan cara memimpin yang berdasarkan
pada nilai keadilan dan perdamaian.
Kerajaan Kediri mengalami masa keemasan
ketika diperintah oleh Prabu Jayabaya. Sukses gemilang Kerajaan Kediri didukung
oleh tampilnya cendekiawan terkemuka Empu Sedah, Empu Panuluh, Empu Darmaja,
Empu Triguna dan Empu Manoguna. Mereka adalah jalma sulaksana, manusia
paripurna yang telah memperoleh derajat oboring jagad raya. Di bawah
kepemimpinan Prabu Jayabhaya, Kerajaan Kadiri mencapai puncak peradaban,
terbukti dengan lahirnya kitab-kitab hukum dan kenegaraan sebagaimana terhimpun
dalam karya-karya Kakawin Bharatayuda oleh Empu Sedah dan Empu Panuluh ,
Gathotkacasraya dan Hariwangsa oleh Empu Panuluh yang hingga kini merupakan warisan ruhani
bermutu tinggi,
Baca Juga : Mata : Pengertian, Fungsi dan Bagian-bagian Mata
L.
Masa Kejayaan Kerajaan Kediri
Kerajaan Kediri mencapai puncak kejayaan
ketika masa pemerintahan Raja Jayabaya. Daerah kekuasaannya semakin meluas yang
berawal dari Jawa Tengah meluas hingga hampir ke seluruh daerah Pulau Jawa.
Selain itu, pengaruh Kerajaan Kediri juga sampai masuk ke Pulau Sumatera yang
dikuasai Kerajaan Sriwijaya. Kejayaan pada saat itu semakin kuat ketika
terdapat catatan dari kronik Cina yang bernama Chou Ku-fei pada tahun 1178 M
berisi tentang Negeri paling kaya di masa kerajaan Kediri pimpinan Raja Sri
Jayabaya.
Bukan hanya daerah kekuasaannya saja
yang besar, melainkan seni sastra yang ada di Kediri cukup mendapat perhatian.
Dengan demikian, Kerajaan Kediri semakin disegani pada masa itu.
Baca Juga : Telinga : Pengertian, Fungsi, Bagian-bagian dan Penyakit pada Telinga
M.
Masa Runtuhnya Kerajaan Kediri
Kerajaan Panjalu / Kediri runtuh pada
masa pemerintahan Kertajaya yang juga lebih dikenal dengan sebutan Dandang
Gendis., dan dikisahkan dalam ”Pararaton” dan ”Nagarakretagama”. Pada tahun
1222 Kertajaya sedang berselisih melawan kaum brahmana. Selama pemerintahannya,
keadaan Kediri menjadi tidak aman. Kestabilannya kerajaan menurun. Hal ini
disebabkan Raja Kertajaya mempunyai maksud mengurangi hak-hak kaum Brahmana.
Hal ini ditentang oleh kaum Brahmana. Kedudukan kaum Brahmana di Kerajaan
Kediri semakin tidak aman.
Kaum Brahmana banyak yang lari dan minta
bantuan ke Tumapel yang saat itu diperintah oleh Ken Arok. Raja Kertajaya yang
mengetahui bahwa kaum Brahmana banyak yang lari dan minta bantuan ke Tumapel,
mempersiapkan pasukannya untuk menyerang Tumapel. Sementara itu, Ken Arok
dengan dukungan kaum Brahmana melakukan serangan ke Kerajaan Kediri. Kedua pasukan itu bertemu
di dekat Genter , sekitar Malang (1222 M). Dalam pertempuran itu pasukan Kediri
berhasil dihancurkan. Raja Kertajaya berhasil meloloskan diri.
Dengan demikian, berakhirlah kekuasaan
kerajaan Kediri . Akhirnya kerajaan Kediri menjadi daerah bawahan Kerajaan
Tumapel. Selanjutnya berdirilah Kerajaan Singasari dengan Ken Arok sebagai raja
pertama.
Baca Juga : Pengertian, Struktur, Fungsi dan Penyakit pada Lidah
No comments:
Post a Comment